Thursday, May 5, 2022

Polri Siap Berkolaborasi dengan KPAI Untuk Mendoktrin Anak yang Terjerat Terorisme


Pakar menyebutkan bahwa faktor pendidikan yang seragam, tidak kritis dan tidak terbuka terhadap adanya perbedaan memberikan peluang bagi kelompok teroris untuk menyebarkan doktrin sesat kepada para anak-anak.

Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian Republik Indonesia (Polri) akan menggandeng Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk menangani puluhan anak yang terjerat oleh doktrin terorisme yang dilakukan oleh kelompok Negara Islam Indonesia (NII). Anak-anak itu, menurut polisi, telah dibaiat oleh kelompok teroris tersebut.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Kemasyarakatan Polri Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan mengungkapkan terdapat 77 anak berumur di bawah 13 tahun yang sudah disumpah menjadi anggota NII.

Menanggapi situasi tersebut, komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengatakan perekrutan anak-anak untuk bergabung ke kelompok teroris sudah lama terjadi dengan doktrinasi melalui penggalan-penggalan ayat.

"Jadi memang sudah ada pendekatan-pendekatan kepada anak-anak seperti. Ini menyasar kepada mereka yang dianggap kurang pemahaman agamanya atau kurang terhadap pemahaman ayat-ayat tadi," kata Retno.

Selain itu, kelompok teroris juga menyasar anak-anak yang bermasalah. Retno menjelaskan bahwa bagi anak-anak yang berasal dari kelompok ekonomi menengah kebawah, kelompok teroris akan memberikan bantuan ekonomi kepada mereka. Taktik yang sama juga dilakukan untuk anak-anak yang kurang mendapat perhatian dari orang tuanya di mana anggota kelompok teroris akan berlagak memberi perhatian lebih agar hubungannya dengan anak-anak yang menjadi target menjadi lebih dekat.

Menurut Retno, faktor pendidikan yang seragam, tidak terbuka terhadap perbedaan dan tidak kritis memberikan peluang bagi para kelompok teroris untuk menjalankan misi indoktrinasinya. Beda halnya jika anak-anak terbiasa bersikap kritis karena mereka akan bertanya alasan mengapa harus bergabung dengan kelompok dimaksud ketika proses indoktrinasi berlangsung, jelas Retno.

“Regulasi yang dibuat negara untuk melindungi anak-anak dari bahaya ideologi terorisme tidak akan berjalan jika pada praktiknya tidak diterapkan di lingkungan keluarga. Anak juga harus diajarkan untuk terbuka kepada orang tua, menceritakan jika ada hal-hal aneh atau pelajaran ganjil dia terima,” kata Retno.

“Orang tua harus membiasakan anak untuk terbuka, berani bercerita dan kritis. Anak-anak juga harus diajarkan untuk toleran dan menerima perbedaan,” tambahnya.

Untuk anak-anak yang terpapar terorisme, lanjut Retno, KPAI akan berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait untuk memastikan anak-anak tersebut mendapatkan rehabilitas psikologi dan pemikiran. Yang melakukan rehabilitasi adalah lembaga layanan, sedangkan KPAI bertugas mengawasi pelaksanaan rehabilitas itu.

Sementara itu, pendiri NII Crisis Center Ken Setiawan menjelaskan bahwa perekrutan sejak usia dini sangat berbahaya karena ketika anak-anak itu sudah besar mereka dapat bergabung dengan sejumlah kelompok teroris yang kini masih aktif seperti seperti Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansharud Daulah (JAD), atau Wahabi.

Ken mengatakan bahwa terdapat ribuan anak-anak yang sudah terpapar ideologi NII dan kebanyakan diantaranya menetap di Sumatera Barat, Lampung dan wilayah Garut di Jawa Barat.

“Orang-orang yang sudah berbaiat kepada NII harus dicabut ikrarnya. Anak-anak (yang telah bergabung dengan NII) harus minta maaf kepada orang tua dan keluarganya. Setelah itu, anak harus membuka semuanya mengenai apa saja kegiatan selama bergabung dengan NII. Kalau (anak tersebut) takut, jangan dipercaya kalau anak tersebut telah keluar dari NII,” ujarnya.

Ken menjelaskan bahwa indoktrinasi yang dilakukan NII sudah mengkhawatirkan terbukti dengan beberapa video yang beredar yang menunjukkan bahwa anak-anak masih berusia di bawah 12 tahun sudah bisa bilang jihad itu adalah membunuh polisi. Mereka juga berpendapat jika melakukan bom bunuh diri, ketika meninggal tidak akan merasakan sakit bahkan bisa tersenyum dan masuk surga.

Ia memperingatkan negara sudah harus menindak tegas NII karena sudah menunjukkan sinyal berbahaya. Tugas negara juga bertambah dengan masih banyaknya masyarakat yang tidak percaya jika gerakan NII itu masih ada.


sumber: VOA Indonesia